Mengapa Kamu Mencintaiku

www.arts-wallpapers.com
http://www.arts-wallpapers.com

“Apa yang membuatmu mencintaiku, duhai istriku?”

Wanita itu hanya terdiam, tersenyum kecil, tak memberikan jawaban apapun. Kepalanya menggeleng.

“Memangnya, kenapa kamu bertanya begitu? Ragukah kamu dengan cintaku padamu, suamiku?”

“Tidak. Sama sekali tidak. Aku hanya ingin tahu.”

Malam meninggi, pasangan pengantin baru itu melewati malam, berdua dan berada dalam satu ranjang untuk pertama kalinya. Bisikan-bisikan cinta mengalir dari bibir sang suami. Sang istri pun membalasnya lirih.

Keduanya seakan tengah menjalani sebuah drama, dan mereka pula yang menjadi lakon utama. Sang suami begitu apik memulai drama. Sang istri pun tak kalah menjiwai perannya meski ia tak pernah berlatih sebelumnya. Bukan setan yang menggoda keduanya, hanya cinta yang merasuk dalam jiwa. Bukan selimut yang menghangatkan tubuh mereka, tapi sebuah rasa yang tengah menggelora.

Dua-duanya terlarut dalam drama nan menyentuh perasaan itu, kemudian jatuh bersamaan, hingga mereka tertidur lelap. Sebuah drama yang begitu alami, manusiawi, dan begitu menyentuh.

***

“Suamiku, mau sarapan apa?” Tak terasa matahari sudah meninggi. Sang suami masih meringkuk dalam kamarnya. Hari ini ia bangun terlalu dini, mandi, menjadi imam untuk istrinya, kemudian kembali ke tempat tidurnya.

Sang istri, sedari solat subuh tadi tak ingin mengikuti suaminya kembali terlelap atau melakoni drama untuk kedua kalinya. Subuh itu, ia ingin berjumpa lebih lama dengan Tuhannya, berucap syukur atas segala nikmat yang telah didapatkannya. Baginya, tak ada yang lebih ia syukuri selain bersuamikan seorang yang memang begitu dicintainya sejak lama.

“Nasi goreng saja, sayang.” Sang suami menjawab dari kamarnya, dengan nada malas dan setengah mengantuk.

Sang istri tersenyum simpul mendapati suaminya tengah meringkuk di atas kasur. Sejujurnya, ia tak yakin bahwa ia bisa membuat sebuah nasi goreng. Sebelumnya, ia hanya melihat bagaimana simboknya membuat nasi goreng, tanpa ia praktikkan sendiri. Ia hafal bumbu-bumbu apa saja yang dibutuhkan dan berapa komposisinya, tapi ia belum pernah mencobanya secara langsung. Tapi, demi suami yang begitu disayanginya itu, ia akan melakukan apapun agar suaminya bahagia bersamanya.

Diiris dan ditumbuknya bumbu-bumbu itu menjadi satu. Telur pun sudah ia pecahkan. Tak mulus memang setiap langkah yang ia jalani. Pecahan telur tercecer, keluar dari mangkuk. Tumbukan cabai pun tak sengaja terciprat ke mata. Begitu perih terasa. Sontak, jemari tangan kanannya bergegas mengucek kedua matanya yang menahan perih. Ia lupa, bahwa jemarinya pun telah terkena cipratan bumbu. Maka, semakin perih saja matanya. Ia berlari menuju wastafel, membersihkan tangan dan kedua matanya disana.

Tapi tak apa. Semua itu demi suami tercinta. Ia ingin membuktikan bahwa dirinya memang pantas menjadi teman hidup sang suami, termasuk untuk sekadar membuatkannya sarapan pagi.

Hampir satu jam berlalu, dua piring nasi goreng telah terhidang di meja. Disampingnya berdiri tegak dua buah gelas berisi air teh buatan sang istri. Sang suami sudah terbangun, duduk di kursi itu tepat berhadapan dengan sang istri. Ia tersenyum simpul.  Tampak tak sabar ingin menikmati masakan pertama istrinya.

Sang istri harap-harap cemas, takut kalau-kalau masakan pertamanya itu tak sesuai dengan harapan sang suami. “Kalaupun memang masakanku tidak enak, mudah-mudahan suamiku tidak kesal karenanya.” Begitu batin sang istri.

“Beli nasi goreng dimana, sayang?” Sang suami bertanya.

“Itu tadi aku yang masak, sayang”. Sang istri menjawab dengan nada ragu dan sedikit kecewa dengan pertanyaan sang suami.

“Emang kamu bisa masak? Bukannya dulu simbok yang sering masakin buat kamu?” Sang suami kembali bertanya dengan nada setengah mengejek, setengah menggoda.

“Aku kan belajar dari simbok”. Sang istri cemberut, merasa dihina oleh suaminya.

Sang suami tersenyum kecil, namun sesungguhnya hatinya tertawa lebar. Ia tatap wajah istrinya sembari membatin. “Kamu tidak tahu, kalau sedari tadi sesungguhnya aku melihat sendiri bagaimana kamu memasak nasi goreng itu. Kamu memang belum pandai memasak sayang, tapi aku tahu kamu melakukannya sepenuh hati. Aku melihat bagaimana kamu kerepotan melakukan sesuatu yang sebelumnya tak pernah kamu lakukan. Kamu pasti ingin melakukan yang terbaik untukku.”

“Kenapa kamu menatapku begitu?” Sang istri mengagetkan tatapan kosong sang suami.

“Oh. Tidak, sayang. Ya sudah, yuk kita sarapan”.

Keduanya kemudian berdoa bersama.

Sang suami terlebih dahulu memulai sarapan. Sang istri masih khawatir kalau-kalau sang suami tidak menyukai nasi goreng itu. Tapi, tampaknya suaminya begitu lahap menyantap tiga sendok pertama. Ia menjadi sedikit lebih tenang. Ia pun segera menyantap nasi goreng buatannya sendiri itu.

“Asin, kenapa rasanya menjadi lebih asin dari yang tadi? Bukankah saat aku cicipi tadi rasanya sudah pas?” Sang istri membatin tatkala menyantap satu sendok pertama.

“Ah, mungkin karena lidahku saja yang lagi error, akibat dari kekhawatiranku sendiri. Suamiku saja begitu lahapnya memakan nasi goreng ini”. Tak dihiraukan lagi apa yang dirasakan oleh lidahnya sendiri itu.

Dua puluh menit berlalu, dua piring nasi goreng telah bersih, tak ada satu pun butiran nasi tersisa. Sang suami mencuci tangannya di mangkuk kecil, kemudian mengeringkannya dengan tisu. Bibirnya pun dilapnya hingga tak ada minyak tersisa.

“Alhamdulillah”, batin sang istri. Bersyukur, suaminya tampak puas dengan masakan pertamanya.

“Bagaimana sayang? Enak nasi gorengnya?”

“Enak. Kamu tidak melihat bagaimana lahapnya tadi aku memakan nasi goreng itu?” Sang suami tersenyum puas.

“Syukur kalau begitu”. Sang istri menjawab dengan penuh kelegaan.

Sang suami kembali tersenyum. Ia kemudian beranjak dari tempat ia duduk, lantas mendekatkan dirinya kepada sang istri. Dipandanginya kedua mata sang istri. Merah warnanya. Teringat kembali olehnya bagaimana istrinya itu menahan perih, tatkala tumbukan cabai itu mengenai matanya.

Sebuah kecupan panjang jatuh di dahi sang istri. Sang istri menutup mata, meresapi betapa hangat kecupan suami tercintanya itu. Kerja kerasnya membuat sarapan pertama seolah tebayar lunas dengan kecupan panjang itu.

Sang suami berbisik di telinga sang istri. “Kamu tahu sayang, kini aku tak akan menanyakan lagi kenapa kamu mencintaiku dan bersedia menjadi pendamping hidupku. Aku tak perlu jawabannya. Aku hanya butuh cintamu. Aku tak butuh alasanmu mencintaiku”.

“Aku tahu betapa kamu telah berusaha keras membuat nasi goreng itu. Semua itu tentu agar aku bisa menikmati sarapan yang kamu buat sendiri, bukan? Semua itu, aku yakin karena kamu begitu mencintaiku”.

Sang istri berucap lirih. “Aku sepertinya tak akan bisa menjawab pertanyaan itu sampai kapanpun. Yang aku tahu, aku hanya mencintaimu dan ingin bersamamu hingga akhir hidupku”.

“Benarkah begitu, sayang?”

“Iya, suamiku”.

Sang suami memeluk erat sang istri, kemudian menggendong dan membawanya ke kamar. Sebuah pagutan mesra kembali terjadi di kamar itu. Drama sebagaimana malam tadi, sepertinya akan kembali mereka lakoni.

*****

4 respons untuk ‘Mengapa Kamu Mencintaiku’

  1. Cerita yang sangat Indah…Impian semua anak Manusia dan Harapan semua Pasangan,
    Menjalani kehidupan dengan Orang yg sangat diCintai dan disayangi.

    Sekali berkenalan

    Sekali Menjalani hubungan

    Sekali Mengikat Janji setia Pernikahan

    Sampai Tua dan Mati itulah Harapan. dan Ke-Inginan.

Tinggalkan komentar