Tentang Jodoh dan Sesuatu di Bus Malam

Minggu, 16 Oktober 2011 Jono dan Tono mesti menghabiskan malamnya di dalam bus. Mereka tengah dalam perjalanan menuju Purwakarta, Jawa Barat.

Baik Jono maupun Tono, keduanya asli orang Kebumen. Keduanya tengah merantau di Purwakarta, menuntut ilmu agama di sebuah pondok pesantren. Sejak dari Sabtu pagi mereka berada di kampung halamannya untuk menghadiri pernikahan seorang teman, Sutiyem namanya.

Jono dan Tono adalah barisan pemuda patah hati. Bagaimana tidak, sejak kecil mereka berdua naksir pada Sutiyem. Tapi mereka sama-sama tak punya keberanian menyatakan cintanya masing-masing. Mereka memang terlalu pemalu. Sutiyem pun akhirnya harus mereka relakan menikah dengan laki-laki lain.

***

Di dalam bus yang datang dari Jogjakarta itu, jumlah penumpang sangatlah sedikit, belasan orang saja. Akibatnya, banyak kursi kosong dan penumpang pun bebas memilih tempat duduk sesukanya.

Tono memilih duduk di bagian depan. Sementara Jono memilih di bagian tengah.

Sejajar dengan Jono, di sebelah kanan duduk seorang anak muda seusianya. Untuk mempermudah cerita, sebut saja pemuda ini “M”. M sudah duduk disitu sejak Jono dan Tono naik.

Di belakang pemuda tersebut, duduk seorang perempuan. Sang perempuan naik dari Kebumen bersamaan dengan Jono dan Tono, sebut saja “N”. Sejajar dengan perempuan itu (yang mana berarti juga tepat di belakang Jono),  kosong.

N termasuk perempuan manis, tak kalah dengan manisnya Sutiyem. Sesekali Jono mencuri pandang pada perempuan itu.

“Lumayan, bisa menjadi pelipur lara. Pengganti Sutiyem…”

Jono sudah kesemsem pada N sejak mereka sama-sama menunggu bus tadi. Sayangnya, sebagaimana biasanya, ia terlampau malu untuk memperkenalkan diri.

***

Bus melaju dengan kencang menuju ke Purwakarta. Penumpang yang sedikit membuat bus terasa sepi. Penumpang leluasa untuk tidur berbaring di atas dua kursi.

Bus terus melaju. Di dalam terasa hening. Sesekali Jono memperhatikan penumpang di sekelilingnya, khususnya pada N yang wajah dan penampilannya memang menarik untuk dipandang.

***

Pukul 8 malam, Jono melihat pemuda yang duduk sejajar dengannya, M, memulai pembicaraan pada N. M tampak memperkenalkan diri.

Jono cukup kesal. Ia rupanya kalah berani dan kalah gesit dari M. Kini, yang akrab dengan N pun bukannya Jono, melainkan M. Akhirnya, Jono memilih acuh saja pada N dan fokus bermain game.

M dan N tampak semakin akrab saja. Tak lama kemudian, M tiba-tiba pindah duduk di samping N.  M dan N kini duduk berjejeran.

Hati Jono menjadi sedikit meradang.

***

Malam semakin larut, Tono yang duduk di depan sudah terlelap. Penumpang lain telah memejamkan mata. Jono masih asyik dengan gamenya, sementara M dan N masih asyik ngobrol.

Biarpun acuh dengan M dan N, Jono sudah mulai berpikir negatif pada M tak lama setelah M dan N mulai akrab. Jono sempat melihat tangan M dengan sengaja meraba-raba bagian dada N di sela-sela pembicaraan mereka itu. Saat itu, N dengan cukup refleks menyingkirkan tangan M dari dadanya sembari mengatakan, “Eh, gak sopan ah!”  

M dengan santainya menjawab, “Iya maaf, bukannya gitu jadi lebih hangat…?”

N tersenyum saja dengan jawaban M.

Waduh!!!

Dari situ Jono mulai curiga dengan perangai M. Pun juga kepada N, sudah jelas ini pemuda gak bener, eh masih dibiarin saja duduk disitu.

“Wah, dalam bahaya ni perempuan”, pikir Jono.

Tapi Jono berupa menepis pikiran negatifnya itu. Ia fokus dengan game yang sudah lama belum juga ia menangkan. Barangkali saja saat itu M hanya iseng.

***

Udara dalam bus semakin dingin saja. Di luar hujan turun begitu deras. Pukul 10 malam, pembicaraan antara M dan N pun sudah tak terdengar lagi. Jono melihat ke arah mereka duduk, ternyata N sudah tertidur dalam pelukan M.

“Wow, sebegitu cepat akrabnya mereka! Ssssehhhh… Kurang ajar ni orang!”, batin Jono.

***

Sekitar pukul setengah dua belas malam, dasarnya Jono sudah curiga dengan perangai M beberapa saat lalu, Jono kembali melihat ke arah mereka. Kali ini dengan sembunyi-sembunyi dari sela-sela kursinya.

Dan, ya ampun!!!

M kembali meraba-raba dada N dan menciumi leher dan rambut N. N pun sudah terbangun. Ibarat hukum fisika, ada aksi maka akan ada reaksi. N merespon nafsunya M.

Selanjutnya, tidak perlu diceritakan, karena semakin panas saja adegan-adegan yang Jono lihat.

Asytaghfirullah!!!

Jono ingin sekali menghentikan aksi mereka itu. Tapi, sungguh tak enak rasanya kalau ia harus mengganggu privasi orang. Jono hanya bisa gregetan dalam hati.

“Baru kenal tiga jam yang lalu saja sudah berani melakukan hal seperti itu. Dasar pemuda mesum, dasar perempuan murahan!”, pikirnya.

Tapi, Jono pun sadar tak punya hak untuk melarang apa yang mereka lakukan. Jono tak punya keberanian. Ia cuma bisa greget saja sembari mengelus dada. Ia sibuk mencari ide untuk menghentikan “aksi” M dan N. Sempat ia ingin melapor saja kepada sopir atau kondektur yang berada di depan, tapi ia urungkan niat itu. Ia semakin greget, sementara M dan N semakin panas saja dengan aksi-reaksinya.

***

Jono kembali sibuk menggali ide. Akhirnya…. Dapat!!!

Jono melihat Tono yang duduk di depan, baru saja terjaga dari tidurnya.

Dengan segera Jono mengirim teman karibnya itu SMS.

“Pindaho nang mburine nyong, ben sampinge rak mesum! Cepet, nyong wis greget kawit mau! (Pindah ke belakangku, biar yang duduk di sampingnya tidak mesum! Cepat, aku sudah greget dari tadi!)

Tono cukup tanggap dengan maksud SMS Jono. Tak perlu menunggu lama, ia pun pindah ke belakang, tepat sejajar dengan kursi dimana M dan N duduk.

“Ngopo pondah nang buri, Wak?” Jono pura-pura bertanya.

“Ngarep bocor kacane, Wak. Kursine dadi teles.”

Segera setelah Tono berpindah ke belakang, M dan N pun akhirnya menghentikan aksi-reaksinya. Dengan segera N tiba-tiba pura-pura tertidur di bahu M. Tangan M pun dengan segera “beralih” ke pundak N.

***

Akhirnya Jono berhasil menghentikan permesuman itu dengan cara yang cukup halus.

“Alhamdulillah”, Jono bersyukur, lalu menghembuskan nafas. Lega dan geli bercampur dalam hatinya.

Jono pura-pura tertidur sambil berkirim SMS pada Tono yang kini duduk tepat di belakangnya.

Jono : Cewek murahan ya, Wak!

Tono : Kaya kuwe ra gur murahan, Wak. Tapi gratisan! (Yang gitu mah bukan lagi murahan, Bro. Tapi gratisan!)

Jono : Ngomong-ngomong, apa dewek sing terlalu wedinan ya wak, mangkane kosi sakiki rak duwe cewek. Ra bisa sladap-sludup kaya wedus lanang kui. (Apa kita yang terlalu penakut ya, Bro, makanya hingga sekarang belum juga punya cewek. Gak bisa to the point seperti “kambing jantan” itu).

Tono : Aja ngono kwe, Wak. Jodo ki wis ana sing ngatur. Mengko ra teka dewek. (Jangan gitu, Bro. Jodoh itu sudah ada yang ngatur. Ntar juga datang sendiri).

Jono : Tapi nek jodone sing kaya wadonan kui priben rika, Wak? (Tapi kalau jodohnya berperilaku seperti perempuan itu gimana kamu, Bro?).

Tono : Ya Insya Allah bae ora. Nang Surat An-Nisa kan lanangan apik nggo wadonan apik, wadonan apik ya nggo lanangan apik. (Ya Insya Allah saja tidak. Di Surat An-Nisa kan laki-laki baik untuk perempuan baik, perempuan baik untuk laki-laki baik).

Jono : Masalahe dewek ki lanangan apik ra ya, Wak? (Masalahnya kita ini termasuk laki-laki baik gak ya, Bro?).

Tono : Ya usaha bae lah. Sing penting aja kosi kaya wedus samping kui. (Ya usaha sajalah. Yang penting jangan sampai seperti “wedus” di sampingku itu).

Jono : Ok lah, Wak. Nek Sutiyem lagi ngapa ya wak karo bojone? (Ok lah, Bro. Kalau Sutiyem kira-kira lagi ngapain ya, Bro dengan suaminya?).

Tono : Ya, mboh lah. Nyong wegah mbayangne. Muga-muga wae bojone lanangan apik. Sing penting saiki dewek usaha bae dadi lanangan sing apik, ben oleh wadonan yo sing apik. (Ya, entahlah. Aku gak mau ngebayangin. Mudah-mudahan saja suaminya laki-laki baik-baik. Yang penting kita usaha saja jadi laki-laki yang baik, biar kelak mendapat perempuan yang juga baik).

Jono : Amin, Wak…

Lima menit kemudian Jono memejamkan matanya sembari berdoa dalam hati, ”Ya Allah Gusti, ojo nganti aku dadi lanangan sing ora bener. Aku pengin entuk wadonan sing bener. Amin..” (Ya Allah Gusti, jangan sampai aku menjadi laki-laki tidak baik. Aku ingin mendapat perempuan baik-baik. Amin).

Jono pun terlelap…

******

*) Ditulis Oktober 2011, diadaptasi dari kisah nyata.