Banyak Belajar, Miskin Filosofi

“Kalau belajar, pahamilah filosofinya. Bukan sekadar menghafal atau mengikuti apa yang tersurat di buku-buku literatur. Ambil benang merahnya. Yakinlah, kalau kita sudah paham filosofinya, maka serumit apapun persoalannya, akan bisa kita pecahkan!”

Kira-kira kata-kata di atas terucap oleh salah seorang dosen saya lebih dari setahun yang lalu. Saya sangat setuju dengan petuah mencerahkan itu. Jika kita sudah paham filosofinya, maka tiap persoalan apapun hampir pasti akan terpecahkan. Tinggal kita kembalikan saja pada filosofinya.

Tapi, sedari dulu saya termasuk orang yang sulit memahami filosofi. Apalagi kalau saya diminta untuk belajar sendiri dari buku-buku literatur yang bahasanya njelimet. Lebih susah lagi kalau literaturnya berbahasa asing. Waduh, beban dalam otak saya bisa bertambah berlipat-lipat, sementara ilmunya ga dapat-dapat!

Nah, pagi tadi ada dosen lain yang menanyakan sesuatu yang sifatnya sangat filosofis. Pertanyaannya seputar ilmu audit yang sudah lebih dari dua semester saya pelajari. Saya dan sebagian besar mahasiswa yang lain ternyata keliru dalam memberikan jawaban. Ini artinya, pemahaman kami mengenai topik yang disampaikan dosen itu masih sangat rendah (kalau nggak mau dibilang salah kaprah). Padahal, sudah cukup lama kami mendalami ilmu itu. Kalau satu kelas tak ada yang bisa menjawab dengan benar, itu artinya memang kami yang bodoh atau ada yang salah dengan cara belajar kami?

Hehehehe. Bisa jadi dua-duanya! Tapi, saya lebih meyakini kalau selama ini kami mempraktikkan cara belajar yang keliru. Nah, saya coba merunutnya ke belakang saat kami mempelajarinya dulu.

Buku yang kami gunakan memang ciptaan orang Amerika. Aslinya bahasa Inggris. Ada juga edisi terjemahannya, namun banyak menggunakan istilah terjemahan yang ga karu-karuan. Memang, mahasiswa yang sudah jago bahasa Inggris berani menggunakan edisi aslinya. Sementara golongan mahasiswa gagap bahasa seperti saya memilih edisi bahasa Indonesia-nya.

Dosen kami waktu itu meminta kami untuk aktif belajar sendiri. Caranya, kelas dibagi dalam beberapa kelompok. Bab-bab tertentu harus dijelaskan oleh satu kelompok. Kelompok yang lain menjadi pemerhati. Begitu dilakukan secara bergantian selama satu semester.

Yang jadi masalah, seringkali dosen tak memberikan tambahan pencerahan kepada kami. Kalaupun ada, sifatnya hanya menjawab pertanyaan dari beberapa mahasiswa yang aktif bertanya. Padahal, mereka yang menyajikan materi tak sepenuhnya paham dengan apa yang mereka paparkan. Apalagi kelompok lain yang menjadi pemerhati. Sudah bukunya susah dipahami, cara belajarnya pun salah. Systemic error!

Saya yang memaparkan materi hingga dua kali pun tak sepenuhnya paham dengan apa yang saya sampaikan. Hanya membaca dan sedikit menghafal, tanpa benar-benar memahami. Banyak sebenarnya tanda tanya di kepala saya, tapi saya sendiri bingung harus memulai mencari tahu dari mana dan kepada siapa. Sementara, dari sedikit yang saya pahami ternyata banyak yang keliru.

Tapi sudahlah. Saya tak ingin mengkritik cara mengajar dari dosen saya yang lama. Mungkin dulu sang dosen berasumsi bahwa kami sudah memahami dasar dan filosofinya makanya ia tak menerangkan secara terang dan gamblang.

Yang saya pikirkan saat ini adalah, mengapa saya tak berusaha untuk benar-benar memahaminya? Apa saya terlalu gampang puas dengan apa yang sudah saya tahu? Atau memang karena sesungguhnya jiwa saya tak tertarik untuk mendalaminya? Nah, untuk yang ini biarkan menjadi rahasia saya. Yang pasti inti kesalahan saya ini adalah, saya tak menguasai filosofinya! Pelajaran berharganya adalah, kalau mau sukses belajar, maka kuasailah filosofinya!

*****

Satu respons untuk “Banyak Belajar, Miskin Filosofi

  1. Hari ini mah belajar untuk nilai lebih esensial ketimbang belajar memahami.
    Kalau saya mah, nilai dihirauin, parahnya filosofinya juga males buat dipahami.

Tinggalkan komentar