Mengintip RUU Pengurusan Piutang Negara dan Piutang Daerah

Rancangan Undang-Undang Pengurusan Piutang Negara dan Piutang Daerah (selanjutnya saya singkat dengan RUU Pengurusan PN dan PD) tengah dibahas bersama oleh Pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Atas dasar itu, cukup tertarik rasanya untuk mengetahui materi-materi apa yang terkandung dalam RUU Pengurusan PN dan PD tersebut, serta perbedaan-perbedaan apa saja yang muncul dalam RUU tersebut jika dibandingkan dengan undang-undang yang lama.

Sebagaimana judul tulisan ini, saya memilih menggunakan kata “mengintip” sebagai pertanda bahwa apa yang saya tulis disini hanya memuat sebagian kecil dari apa yang saya tahu. Oleh karenanya, tidak perlu heran jika apa yang saya tulis ini jauh dari lengkap. Disamping itu, tulisan ini pun hanya berisi pendapat pribadi yang belum tentu benar adanya, serta tidak mewakili maksud para perancang RUU tersebut. Dengan demikian, nilai kebenaran dari tulisan ini masih bisa didiskusikan kembali.

Saya pun bukan seorang ahli hukum, oleh karenanya pemikiran saya mengenai hakikat hukum dalam pengurusan piutang negara mungkin saja keliru. Namun begitu, seandainya ada yang tidak setuju dengan kebenaran tulisan ini, silakan apa yang saya tulis ini Anda koreksi untuk selanjutnya kita bisa mendiskusikannya kembali. Yang penting, Anda tidak berlaku ad-hominem kepada saya dengan menilai tulisan ini dari sudut pandang Anda terhadap diri saya pribadi-yang bukan merupakan seorang ahli.

Sebagaimana diketahui, selama ini praktik pengurusan piutang negara diatur dalam UU Nomor 49/Prp/1960 tentang Panitya Urusan Piutang Negara (selanjutnya disebut dengan UU PUPN). Meskipun begitu, UU PUPN bisa dikatakan telah mati suri sejak tahun 2006 sebagai akibat dari perkembangan paradigma piutang negara yang muncul dalam praktik.

Untuk mempermudah analisis, tulisan ini lebih banyak membandingkan praktik pengurusan piutang negara yang selama ini diatur dalam UU PUPN tersebut dengan praktik pengurusan yang rencananya akan diatur dalam RUU Pengurusan Piutang Negara dan Piutang Daerah itu.

Perbedaan Terminologi Piutang Negara

Sebagaimana saya paparkan dalam tulisan ini bahwa pada dasarnya telah terjadi perubahan terminologi mengenai piutang negara. Piutang negara telah mengalami penyempitan makna seiring dengan diterbitkannya paket undang-undang mengenai Perbendaharaan Negara dan undang-undang mengenai Badan Usaha Milik Negara. Semula piutang negara meliputi piutang pemerintah pusat, pemerintah daerah, serta piutang badan-badan yang dikuasai negara baik secara langsung maupu tidak langsung (termasuk BUMN dan BUMD). Namun, kemudian ruang lingkup piutang negara itu menyempit menjadi sebatas piutang pemerintah pusat saja.

Hal ini dapat dilihat dari pengertian piutang negara sebagaimana disebutkan dalam pasal 8 UU PUPN sebagai berikut:

Yang dimaksud dengan piutang negara atau hutang kepada negara oleh peraturan ini, ialah jumlah uang yang wajib dibayar kepada negara atau badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara berdasarkan suatu peraturan, perjanjian, atau sebab apapun.

Dalam penjelasan atas pasal 8 ini disebutkan lebih lanjut:

Dengan piutang negara dimaksudkan hutang yang:
a.    langsung terhutang kepada Negara dan oleh karena itu harus dibayar kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.

b.  terhutang kapada bahan-badan yang umumnya kekayaan dan modalnya sebagian atau seluruhnya milik Negara, misalnya Bank-Bank Negara, PT. PT. Negara, Perusahaan-Perusahaan Negara, Yayasan Perbekalan dan Persediaan, Yayasan Urusan Bahan Makanan dan sebagainya. Hutang pajak tetap merupakan piutang negara, akan tetapi diselesiakan tersendiri dengan Undang-Undang Penagihan Pajak Negara dengan Surat Paksa.

Sementara itu, terminologi yang digunakan dalam RUU Pengurusan PN dan PD sama dengan terminologi sebagaimana yang disebutkan dalam UU Perbendaharaan Negara sebagai berikut:

Piutang Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah Pusat dan/atau hak Pemerintah Pusat yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian, akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang- undangan, atau akibat lainnya yang sah.

Sementara piutang daerah didefinisikan sebagai berikut:

Piutang Daerah adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah Daerah dan/atau hak Pemerintah Daerah yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian, akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan, atau akibat lainnya yang sah.

Dari beberapa definisi di atas, jelas sekali bahwa pengertian piutang negara telah mengalami penyempitan ruang lingkup dari yang semula meliputi piutang pemerintah pusat, piutang pemerintah daerah, serta piutang badan-badan yang dikuasai negara seperti BUMN dan BUMD menjadi hanya piutang pemerintah pusat saja.

Namun begitu, RUU Pengurusan PN dan PD mengakomodasi bahwa ruang lingkup pengurusan piutang negara dan piutang daerah tidak melulu piutang negara dan piutang daerah. Ruang lingkup pengurusan yang dimaksud dalam RUU tersebut sebagaimana tersurat dalam pasal 2 ayat (1), antara lain meliputi:

a. Piutang Negara;
b. Piutang Daerah;
c. piutang yang dananya berasal dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang disalurkan melalui Perbankan atau Lembaga Keuangan Bukan Perbankan dengan pola penyaluran atau pembagian risiko; dan
d. piutang dari badan hukum yang dibentuk oleh negara atau daerah, selain Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah.

Perbedaan istilah: Penanggung Hutang vs debitor, hutang vs utang

Perbedaan istilah ini pada dasarnya hanya bersifat penyempurnaan formal semata, sementara secara material maksud dari istilah-istilah tersebut tidak mengalami perubahan. UU PUPN menggunakan terminologi penanggung hutang, sementara RUU Pengurusan PN dan PD menggunakan terminologi debitor. Sementara itu, perubahan istilah dari hutang menjadi utang lebih dipengaruhi oleh masalah Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) semata.

PUPN vs Pejabat Pengurusan Piutang

Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa selama ini pengurusan piutang negara dilakukan oleh Pantya Urusan Piutang Negara (PUPN) dengan dasar UU Nomor 49/Prp/1960. PUPN Merupakan lembaga interdepartemen yang terdiri atas PUPN Pusat dan PUPN Cabang.

PUPN Pusat berkedudukan di Jakarta, sementara PUPN Cabang berkedudukan di Ibu Kota Provinsi, kecuali ditentukan lain oleh Menteri Keuangan.

Keanggotaan PUPN Pusat terdiri atas:
a.    Wakil dari Departemen Keuangan sebagai Anggota;
b.    Wakil dari Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai Anggota; dan
c.    Wakil dari Kejaksaan Agung sebagai Anggota.

Sementara keanggotaan PUPN Cabang terdiri atas:
a.    Wakil dari Departemen Keuangan sebagai Anggota;
b.    Wakil dari Kepolisian Daerah sebagai Anggota;
c.    Wakil dari Kejaksaan Tinggi sebagai Anggota; dan
d.    Wakil dari Pemerintah Daerah sebagai Anggota.

PUPN merupakan lembaga setengah majelis yang berwenang mengeluarkan putusan-putusan yang memiliki kekuatan eksekutorial, seperti:
1. Surat Penerimaan Pengurusan Piutang Negara (SP3N).
2. Surat Penolakan Pengurusan Piutang Negara.
3. Surat Pengembalian Pengurusan Piutang Negara.
4. Pernyataan Bersama (PB).
5. Surat Keputusan Penetapan Jumlah Piutang Negara (PJPN).
6. Surat Paksa (SP).
7. Surat Perintah Penyitaan (SPP).
8. Surat Perintah Pengangkatan Penyitaan (SP3).
9. Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan (SPPBS).
10. Surat Pernyataan Pengurusan Piutang Negara Lunas (SPPNL).
11. Surat Pernyataan Pengurusan Piutang Negara Selesai (SPPNS).
12. Surat Penetapan Piutang Negara Untuk Sementara Belum Dapat Ditagih (PSBDT).
13. Surat Perintah Paksa Badan.
14. Surat Perintah Pembebasan Paksa Badan.

Secara organisasi, PUPN berdiri secara mandiri. Namun begitu, secara teknis administratif, dalam menjalankan kewenangannya, PUPN menyatu dengan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (atau yang dahulu dikenal dengan BUPN/BUPLN/DJPLN).

RUU Pengurusan PN dan PD secara spesifik mengatur bahwa wewenang pengurusan piutang negara dan daerah yang telah diserahkan oleh penyerah piutang, berada pada Menteri Keuangan. Wewenang Menteri Keuangan tersebut selanjutnya dilaksanakan oleh Pejabat Pengurusan Piutang. Pejabat Pengurusan Piutang ini adalah Direktur Jenderal atau pejabat di lingkungan Kementerian Keuangan yang mempunyai kewenangan untuk melaksanakan Pengurusan Piutang Negara dan Piutang Daerah. Wewenang Pejabat Pengurusan Piutang ini pada dasarnya serupa dengan wewenang PUPN dalam hal menerbitkan putusan-putusan yang bersifat mengikat dan memiliki kekuatan eksekutorial sebagaimana penetapan pengadilan. Hanya saja, terdapat sedikit perbedaan yakni dalam RUU Pengurusan PN dan PD tidak mengenal Pernyataan Bersama. Oleh karenanya, Pejabat Pengurusan Piutang pun tidak memiliki wewenang untuk menerbitkan Pernyataan Bersama sebagaimana wewenang PUPN.

Detail wewenang Pejabat Pengurusan Piutang Negara adalah sebagai berikut:
a. mengangkat dan memberhentikan Juru Sita Piutang, Penilai Internal, dan Pemeriksa;
b. menerima, menolak, atau mengembalikan Pengurusan Piutang Negara dan Piutang Daerah;
c. menetapkan jumlah Piutang Negara dan Piutang Daerah;
d. mengusulkan Pencegahan, perpanjangan Pencegahan, pencabutan Pencegahan, atau izin bepergian ke luar wilayah Negara Republik Indonesia dalam jangka waktu Pencegahan;
e. melakukan penagihan dengan Surat Paksa;
f.  melakukan penyitaan dan pengangkatan sita;
g. melaksanakan Paksa Badan;
h. menetapkan nilai limit penjualan barang sitaan melalui lelang;
i.  melaksanakan penjualan barang sitaan melalui lelang;
j.  menyetujui atau menolak permohonan penebusan Barang Jaminan;
k. menyetujui atau menolak penjualan tidak melalui lelang terhadap Barang Jaminan dan/atau harta kekayaan lain;
l.  menyetujui atau menolak permohonan keringanan penyelesaian utang;
m. menetapkan Piutang Negara dan Piutang Daerah lunas, selesai, sementara belum dapat ditagih, atau telah dihapuskan secara mutlak;
n. meminta izin dari Gubernur Bank Indonesia untuk mendapatkan keterangan dari bank mengenai simpanan Debitor dan/atau Penjamin Utang;
o. meminta persetujuan dari pimpinan otoritas pasar modal untuk mendapatkan keterangan mengenai rekening efek nasabah;
p. melakukan pemanggilan kepada Debitor dan/atau Penjamin Utang; dan
q. melakukan pemblokiran dan pencabutan pemblokiran terhadap Barang Jaminan dan/atau harta kekayaan Debitor, Penjamin Utang, dan/atau pihak ketiga.

Perubahan Terminologi Barang Jaminan

UU PUPN tidak secara spesifik mendefinisikan mengenai barang jaminan. Namun begitu, definisi barang jaminan tersebut dapat dilihat dari peraturan pelaksanaan UU tersebut, yakni terakhir didefinisikan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128 Tahun 2007 sebagai berikut:

Barang  Jaminan  adalah  harta  kekayaan  milik  Penanggung  Hutang dan/atau  Penjamin  Hutang  yang  diserahkan  sebagai  jaminan penyelesaian hutang.

Dalam definisi tersebut terdapat sebuah kelemahan, yakni tidak memuat kemungkinan harta kekayaan milik pihak ketiga sebagai barang jaminan. Padahal, kenyataannya harta kekayaan yang dijadikan barang jaminan tidak melulu milik penanggung hutang dan/atau penjamin hutang. Dalam praktiknya, banyak pula barang jaminan yang ternyata milik pihak ketiga di luar penanggung hutang atau penjamin hutang. Implikasi dari terbatasnya lingkup definisi barang jaminan itu menjadikan perlakuan terhadap barang jaminan milik pihak ketiga tersebut, menjadi membingungkan.

Dalam RUU Pengurusan PN dan PD, definisi barang jaminan telah disempurnakan sebagai berikut:

Barang Jaminan adalah harta kekayaan milik Debitor, Penjamin Utang, dan/atau pihak ketiga yang diikat sebagai jaminan untuk penyelesaian utang.

Dengan definisi demikian, lingkup barang jaminan menjadi juga meliputi barang pihak ketiga yang diikat sebagai jaminan penyelesaian utang. Dengan demikian, perlakuan hukum terhadap barang jaminan milik pihak ketiga pun menjadi lebih pasti secara hukum.

Tidak Ada Pernyataan Bersama dalam RUU Pengurusan PN dan PD

UU PUPN mengenal mekanisme Pernyataan Bersama. Pernyataan Bersama adalah kesepakatan antara PUPN dengan Penanggung Hutang/debitor mengenai jumlah hutang yang wajib dilunasi, cara-cara penyelesaiannya, dan sanksi apabila pernyataan bersama tersebut tidak dipatuhi.

Pada dasarnya Pernyataan Bersama merupakan bentuk musyawarah antara PUPN dengan Penanggung Hutang. Sebelum diterbitkannya Pernyataan Bersama, terlebih dahulu Penanggung Hutang akan dipanggil untuk menghadap PUPN. Ketika Penanggung Hutang memenuhi panggilan itu, selanjutnya akan dilakukan tanya jawab seputar piutang negara serta rencana cara penyelesaian oleh Penanggung Hutang itu. Hasil tanya jawab itu akan dituangkan dalam Berita Acara Tanya Jawab.

Dari hasil tanya jawab itu, apabila Penanggung Hutang sepakat dengan jumlah piutang negara yang harus dilunasi serta sepakat pula cara-cara penyelesaian atas piutang itu, akan diterbitkan Pernyataan Bersama. Sebaliknya, jika Penanggung Hutang tidak mengakui jumlah hutang tetapi tidak bisa membuktikannya, mengakui jumlah hutang tetapi menolak menandatangani Pernyataan Bersama, atau tidak datang memenuhi panggilan, PUPN akan menerbitkan Surat Keputusan Penetapan Jumlah Piutang Negara (SK PJPN).

RUU Pengurusan PN dan PD tidak mengenal mekanisme Pernyataan Bersama. Pasca diterimanya pengurusan piutang negara oleh Pejabat Pengurusan Piutang, Pejabat Pengurusan Piutang akan segera menerbitkan Surat Keputusan Penetapan Jumlah Piutang Negara atau Piutang Daerah (SK PJPN/D) atas piutang negara dan daerah yang diserahkan oleh penyerah piutang. Maksud dari langsung diterbitkannya SK PJPN/D, kemungkinan adalah untuk keperluan efisiensi pengurusan piutang negara/daerah.

Pertanyaan Kecil Mengenai Penebusan

Hal terakhir yang muncul dalam benak saya ketika membaca sekilas mengenai RUU Pengurusan PN dan PD adalah mengenai mekanisme penebusan. Sebagaimana saya kutipkan di atas, bahwa ruang lingkup barang jaminan menurut RUU Pengurusan PN dan PD antara lain meliputi harta kekayaan:

a. milik debitor;

b. milik penjamin utang;

c. milik pihak ketiga yang diikat menjadi jaminan penyelesaian utang debitor.

Penebusan pada dasarnya merupakan salah satu pendekatan non eksekusi dalam pengurusan piutang negara. Dalam penebusan, sebagaimana diatur dalam pasal 48 RUU, pihak yang diperbolehkan untuk mengajukan adalah penjamin utang.

Terkait dengan itu, pertanyaan saya adalah, kenapa hanya penjamin utang yang dapat mengajukan penebusan? Bagaimana dengan pihak ketiga yang mengikatkan harta kekayaannya sebagai barang jaminan? Kenapa tidak ada celah sama bagi pihak ketiga tersebut untuk menebus barang jaminannya itu? Apa bedanya pihak ketiga tersebut dengan penjamin utang yang mana penjamin utang dimungkinkan melakukan penebusan sementara pihak ketiga tersebut tidak?

Saya berpendapat bahwa jika penjamin utang dimungkinkan untuk melakukan penebusan terhadap harta kekayaan yang diikatnya sebagai barang jaminan, maka hal yang sama seharusnya juga dimungkinkan terhadap pihak ketiga yang mengikatkan harta kekayaannya sebagai jaminan pelunasan utang debitor. Toh dari segi efektivitas penagihan piutang negara, hasil dari mekanisme penebusan oleh keduanya juga tidak ada perbedaan. Disamping juga perlu diatur lebih lanjut dalam aturan pelaksanaan ke depannya (dalam bentuk PP atau PMK) bahwa penebusan harus pula mendapat persetujuan dari debitor sebagaimana yang juga telah diatur dalam PMK Nomor 128 Tahun 2007 tentang Pengurusan Piutang Negara sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan PMK Nomor 168 Tahun 2011.

***

Demikian sedikit mengenai apa yang saya tahu, pendapat saya pribadi, serta pertanyaan kecil saya seputar RUU Pengurusan PN dan PD. Apa yang saya tahu serta pendapat saya pribadi mungkin saja keliru, sementara pertanyaan kecil saya mungkin saja hanya merupakan sebuah pertanyaan yang tidak perlu dijawab. Apapun itu, semua yang saya tulis adalah berasal dari pemikiran saya pribadi. Tulisan ini tidak mewakili pandangan organisasi tempat saya bekerja, tidak pula mewakili maksud para perancang RUU Pengurusan Piutang Negara dan Piutang Daerah.

Wallahu wa’alam..

*****

Sumber:

1. Undang-Undang Nomor 49/Prp/1960 tentang Panitya Urusan Piutang Negara

2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara

3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128 Tahun 2007 tentang Pengurusan Piutang Negara sebagaimana yang telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163 Tahun 2011

4. Rancangan Undang-Undang tentang Pengurusan Piutang Negara dan Piutang Daerah (http://www.dpr.go.id/uu/delbills/RUU_RUU_TENTANG_PENGURUSAN_PIUTANG_NEGARA_DAN_PIUTANG_DAERAH.pdf)

3 respons untuk ‘Mengintip RUU Pengurusan Piutang Negara dan Piutang Daerah

Tinggalkan komentar